Kamis, 20 Juli 2017

I am now a Stay At Home Mom :)

Heuuuu... Saya ga ngepost bulan juni kemarin, utang dehhhh.... Banyak banget draft tapi ngga selesai-selesai.

23 Juni 2017 adalah hari terakhir saya bekerja sebagai pegawai kantoran untuk menjadi ibu rumah tangga, atau sekarang kerennya disebut SAHM (Stay At Home Mom). Keputusan yang sebenarnya saya sudah rencanakan setelah melahirkan 11 bulan yang lalu. 

Ada link bagus yang saya baca tentang stay at home mom masa kini. First paragraphnya seperti ini:

In my pre-kid life, I never imagined that someday I'd be a stay-at-home mom—hey, I didn't go to grad school to spend my days changing diapers. But when I held my first baby, Mathilda, I had a complete change of heart. As soon as we locked eyes, all those career and financial worries faded. They didn't disappear, but they certainly became secondary.

Heuuuu.. Bener bangett... Mana pernah kepikiran sih kalau suatu saat akan jadi ibu rumah tangga. Kayanya kok kurang bonafit gitu, lebih keren kalau kerja di kantor yang gedungnya bagus pakai baju rapih. Sekarang mah semenjak tau rasanya jadi ibu, boro-boroo... (Sumpah, inget banget, dulu semua orang ngetawain adik saya (shofiyya) waktu pas masih kecil dia bilang cita-citanya jadi Ibu Rumah Tangga). Berat banget melangkah kerja, meninggalkan si anak dengan orang lain (kalau saya masih Alhamdulillah, dipegang neneknya sendiri), melewatkan momen-momen lucunya si kecil, tidak menjadi saksi milestone-milestone yang berhasil anak kita lewati dan masih banyak lagi.

Tentunya setiap ibu memiliki pertimbangannya masing-masing saat memutuskan ingin menjadi Stay-At-Home-Mom atau Working Mom. Semua adalah pilihan hidup setiap individu dimana tidak bijak tampaknya jika harus dinilai mana yang benar dan mana yang salah karena toh segala konsekuensi ditanggung sendiri bukan oleh yang berkomentar. Di samping itu kondisi dan lingkungan setiap orang berbeda. Kalau boleh saya menjabarkan alasan saya memutuskan menjadi SAHM adalah sebagai berikut:

  1. Agar tidak long distance. Sesungguhnya yang tau kejelasan pekerjaan suami saya hanyalah Allah. Soalnya kadang doi ditanya rencananya dalam sebulan ke depan gimana aja, dia juga ga bisa jawab. Bisa aja besok disuruh ke field, bisa aja meeting disini, harus troubleshooting disana, ngatur ini, ngatur itu, bla bla bla. Jadwal suami yang bertugas 2 minggu di Cirebon 2 minggu di Balikpapan, membuat kita cuma ketemu di weekend pada saat suami mau ke Balikpapan. Walaupun kadang ada surprise visit karena tau-tau dia mesti meeting di Jakarta. Dengan kondisi saya yang masih bekerja, mengharuskan saya untuk tetap tinggal di Depok dan tidak dapat menemani suami di tempatnya bekerja. Supaya si kecil bisa ketemu ayahnya lebih sering sepertinya solusinya sudah jelas.
  2. Saya tidak menanggung beban ekonomi siapapun kecuali lipstik-lipstikku sayang :p Alhamdulillah. Sebenarnya ini bukan berarti saya mau berpangku tangan, ongkang-ongkang kaki aja gituu... Saya mulai memikirkan untuk freelance (kerja yang tidak mengikat dan bs dikerjakan dari rumah) dan usaha kecil-kecilan (saya jual barang beraneka ragam di tokopedia, shopee, dan instagram, dan sudah saya lakukan dari saya masih bekerja). Memiliki usaha sendiri itu "tidak aman", penghasilan tidak pasti dan tetap, tetapi dijalaninya lebih menyenangkan plus saya punya waktu lebih banyak bersama si kecil. Tanggungan pribadi saya tidak ada yang bersifat wajib dan naik-turunnya belum memberikan dampak yang signifikan terhadap yang lain. Di saat terakhir saya bekerja, usaha sampingan saya sudah mencapai omset lebih banyak dari gaji saya (omset sama keuntungan beda yaaa). Yaudah, Bismillah dehhh
  3. My mom has done enough. Semenjak memiliki anak, saya kembali melipir ke rumah orang tua mengingat kondisi suami saya yang selalu dinas dan saya yang bekerja. Ibu saya sebenarnya juga working from home woman, malah dia lebih sibuk dari saya karena beliau merangkap jadi asistennya ayah saya tetapi si nenek tidak tega kalau cucunya diurus oleh orang lain. Alhasil selama 8 bulan saya kembali bekerja, anak saya diurus oleh keluarga, sebagian besar sama Ibu saya, di back up sama adik saya yang sedang tidak lagi ada kelas, atau ada yang lagi libur. Alhamdulillah dari 8 bulan itu hanya 3x saya benar-benar tidak punya pilihan lain, sehingga akhirnya si kecil dijaga sama bibi yang suka gosok di rumah. Seiring waktu Ammar semakin besar (yaiyalah kalo ngga, gagal tumbuh dong), semakin lincah dan gerak kesana kemari, yang jagain pun makin capek dan jompo. Dan kalau dipikir-pikir ibu saya punya 9 anak, terus sekarang kena jaga cucu juga (walaupun, believe me, grandparents do it happily).
  4. I worked in a hostile environment. Well, not really the environment that I hate, but I had some conflicts with my superior in a point wherel he limit my horizon and stop me from expanding my knowledge. Akhirnya jadi mikir: gw ninggalin anak gw di rumah cuman untuk ke kerjaan yang gw ga enjoy jalaninnya karena bosnya nyebelin :( ini kaya lose-lose ga sih, masih mending deh ibu-ibu karir yang emang suka dan passion sama kerjaannya... Nah ini.. Hmmm..
  5. SAHM yang dulu beda dengan sekarang. Beruntungnya kita yang hidup di zaman internet dimana semua bisa dilakukan dengan mudah dan dari rumah. Malah banyak banget deh mompreneur sukses jaman sekarang who wins best of both worlds, career and family
  6. Golden Age won't happen twice. Seribu hari pertama kehidupan seorang anak (mulai dari dalam kandungan sampai dengan umur 2 tahun) adalah masa yang sangat penting. Bahkan menurut Sigmund Freud, golden age terjadi sampai anak berusia 5 tahun. Apa yang terjadi dan didapat anak saya pada masa-masa ini akan banyak berpengaruh ke masa depannya kelak. Anggaplah ini adalah investasi penting. 
  7. Biarkan ayah melakukan kewajibannya. dan saya sebagai istri senantiasa memberi dukungan. Sedih kalau sosok kedua orang tua absen at most of the time. 
  8. Ada buku menarik berjudul "Fitrah Based Education" dengan penulis Ust. Harry Santosa. Saya waktu itu hanya datang ke diskusi singkat buku tersebut dan rangkumannya (belum baca sendiri bukunya). Materi di dalamnya cukup eye-opener, dan membuat saya makin mantap untuk menjadi SAHM. Untuk yang mau rangkumannya, nanti bisa saya share via personal karena ini tulisan orang di fb bukan tulisan saya sendiri.
Beberapa waktu yang lalu saya juga pernah baca tentang "5 second rule" bukan tentang boleh atau ngganya makanan di makan setelah jatuh ke lantai ya. Tetapi bagaimana kita harus memutuskan sesuatu dalam 5 detik pertama, atau otak akan menggagalkan rencana kita dan mengisinya dengan keraguan-keraguan. Hehehehe

Memperbesar cakupan bisnis sampingan saya, karena setelah resign tentunya ini menjadi pengganti penghasilan utama saya.Karena saya ngga pakai sih 5 second rule dan terlalu banyak pertimbangan, alhasil it took me 8 months to finally resign (initial plan was right after the maternity leave :p). Sebelum resign pun bukannya tidak ada persiapan sama sekali, beberapa hal yang saya persiapkan sebelum resign:
  1. List kegiatan yang ingin saya lakukan. Salah satunya sih saya mau lebih rajin ngeblog gituuu... Karena biasanya masalah umum jadi SAHM itu adalah bosen. Ciyus bosen kalau ga ada kegiatan dan rutinitasnya cuma sama anak dan beberes rumah doang.
  2. Oh iya, selama bekerja, setiap akhir pekan, saya membiasakan diri untuk fully handle si kecil. Iyah capekk... Suwerr capekan jaga anak dibanding kerja, wkwkwkwk.... Betapa enaknya hidup saya yang punya adik perempuan banyak dan masih pada antusias bantu momong anak saya. Hehehehe... Tapi karena setelah resign saya akan lebih sering ikut suami saya tinggal di luar kota, mau tidak mau, saya harus strong dong...
  3. Mulai googling dan list kegiatan untuk bayi mengingat si kecil hampir menginjak usia 1 tahun dan lebih aktif. Saya mulai belajar apa itu sensory play, dan play play lainnya. 
Bagi yang lagi galau resign, selamat galau semoga segera diberi petunjuk terbaik olehNya. Satu yang pasti, jangan sampai nantinya menyalahkan pihak lain atas keputusan resign yang telah diambil.

First lunch date just the two of us :)